21.9.09

ARTIKEL

SENI MELUDAH DI TANAH PAPUA
Oleh: George Junus Aditjondro*

ADAKAH seni meludah? Ada, apabila yang diludahkan adalah cairan hasil kunyahan pinang muda (Areca catechu), kembang sirih dan kapur hasil pembakaran kerang. Selain itu, tidak sembarang orang dapat menguasai seni meludah cairan pinang dan teman-temannya itu. Sang peludah harus cukup akrab mengunyah pinang, dan tidak teler setelah mengunyah sebiji pinang muda dan kawan-kawannya. Kalau tidak, mana cukup ludah pinangnya untuk menghiasi selembar kanvas? Apalagi ludahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat dari sebiji pinang semakin berkurang kepekatan dan warna merahnya.

Tapi itupun belum cukup untuk menjadi pelukis ludah pinang. Para pekerja seni ini harus punya dorongan emosional, untuk mengunyah pinang sebanyak mungkin, untuk mengisi selembar kanvas, atau selembar kulit kayu, medium lukisan orang Sentani. Para pekerja seni ini bagusnya didorong oleh kemarahan untuk meludahkan isi hati bersama isi mulut mereka, ke atas kanvas atau kulit kayu. Semua itu ada di Tanah Papua, baik di provinsi Papua maupun Papua Barat, karena para pengunyah pinang di pulau kasuari di mana-mana selalu diingatkan oleh papan peringatan di dinding tempat-tempat umum, yang berbunyi: “DILARANG MELUDAH PINANG DI SINI!”

Memang, ada stigma jorok terhadap para pengunyah pinang di Tanah Papua. Bersama stigma jorok itu adalah stigma budaya terbelakang, sebab di banyak daerah di Nusantara, tinggal orang tua dan orang desa saja yang masih mengunyah pinang. Sementara orang muda dan orang kota, sudah beralih ke rokok.

Genre baru seni lukis ini dipamerkan selama lima hari oleh Bengkel Pembelajaran Antara Rakyat (Belantara) Papua di Rumah Budaya Tembi di Sewon, Bantul, Yogyakarta, awal Agustus lalu. Waktu pameran dibuka, penonton dapat menyaksikan sendiri, proses melukis, atau tepatnya, proses meludah di atas kanvas besar oleh dua orang pelukis Papua (Wilhelmus Kalami dan Josua Kristian Binur) dan tiga orang pelukis Yogya (Wardi Bajang, Enjun J.A., Tri Suharyanto Kotrek). Selanjutnya, para pengunjung pameran diajak melihat hasil karya perupa-perupa anggota Belantara Papua, yakni Wilhelmus Kalami, Josua Kristian Binur, Musa, Yesaya Mayor, Lanjar Jiwo, Frans Kacili, Metu Dimara. Ada juga karya kolektif dari beberapa sanggar di Sorong dan Raja Ampat, yakni Koranu Fyak, Warimak, dan Waifoi. Lalu, buat yang masih penasaran, Wilhelmus Kalami dan Lanjar Jiwo menyelenggarakan workshop sehari.

Ternyata, cara melukis dengan ludah pinang ini, tidak gampang, karena pertama harus mengunyah-ngunyah pinang, kapur, dan sirih cukup banyak dan cukup lama, supaya ludahnya bisa pekat dan berwarna merah tua. Kalau tidak, ludahnya sangat cair, dan warnanya coklat muda kekuning-kuningan. Selanjutnya, cairan itu harus segera diusap-usap dengan tangan, membentuk apa yang ada di bayangan sang pelukis.

Paling mudah, menggunakan tangan sebagai “cetakan”, sehingga terbentuk gambar tangan di kanvas, menyerupai lukisan-lukisan manusia gua ribuan tahun lalu. Lihat saja di gua-gua di Pulau Misool dan Teluk Mayalibit di Distrik Warsamdin, di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, masih dapat ditemukan lukisan-lukisan “cap tangan” yang terbentuk dari tangan-tangan manusia yang diludahi suatu cairan. Belum diketahui, cairan apa yang digunakan manusia gua dari Raja Ampat, ribuan tahun lalu. Namun penduduk setempat percaya, nenek moyang mereka sudah menggunakan ludah pinang.

Yang jelas, gaya lukisan begini, yang dalam literatur Melanesia dikenal dengan istilah gaya “stensil tangan”, merupakan bukti penyebaran nenek moyang rumpun Melanesia, yang bermigrasi entah dari mana, tapi meninggalkan lukisan-lukisan mereka dari gua Leang-leang di Kecamatan Bantimurung di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan sampai ke gua Yalo di Pulau Malakula di Kepulauan Vanuatu di kawasan Melanesia, yang terkenal dengan lukisan stensil sepasang tangan. Sementara cabang rumpun yang lain yang menurunkan orang Aborijin, meninggalkan lukisan gua di Pegunungan Kimberley di Australia Barat Laut, di mana bukan lukisan stensil tangan yang menonjol, tapi lukisan bergaya Wanjina. Itulah mahluk-mahluk pelindung mereka, yang punya mata dan telinga, tapi tanpa mulut. Mirip mahluk-mahluk antariksa yang sering kita lihat di film-film science fiction.

Diilhami lukisan “stensil tangan” bertangga-tangga di gua-gua Misol dan Teluk Mayalibit, serta didorong larangan meludah pinang yang tertempel di semua tempat umum, beberapa orang pekerja seni di Sorong mulai menjajaki kemungkinan mengalihkan kebiasaan meludah pinang menjadi ekspresi seni. Itulah hasil interaksi pekerja seni dari Yogya, Lanjar Jiwo, yang sudah berbulan-bulan bercokol di Sorong, dengan Jesaya Mayor, seorang perupa berdarah Biak-Betew (turunan diaspora Biak di Kepulauan Raja Ampat). Anggota Sanggar Seni Budaya Koranu Fyak ini sudah berhasil menggunakan teknik melukis ini pada kulit kayu, kertas, dan daun lontar.

Ide ini cepat mendapat tanggapan dari para pekerja seni setempat, apalagi mengingat susahnya memperoleh kanvas dan cat di kota Sorong maupun di Pulau-Pulau Raja Ampat. Setelah sukses mengembangkan teknik seni lukis ini di kalangan masyarakat pesisir, Lanjar Jiwo dan Jesaya Mayor mengembangkannya ke masyarakat Maybrat di Pegunungan Tamrau. Walhasil, seniman-seniman Maybrat mengoleskan ludah pinang pada patung-patung karwar hasil ukiran mereka. Patung-patung kayu ini menggambarkan leluhur mereka.

Kembali ke seni lukis ludah pinang, ada yang melakukan modifikasi, yakni campuran pinang, kapur, dan sirih tidak dikunyah, tapi ditumbuk dalam lesung kecil dan dicampur air, sehingga bisa dipoleskan dengan kwas, seperti cat biasa. Namun baik bagi yang lebih mahir meludah, maupun yang meramu campuran yang ditumbuk dengan air, teknik “stensil” tetap yang paling digemari, dengan tidak hanya menggunakan tangan sang pelukis sebagai ‘sablon’, tapi juga daun-daunan.

Baru setelah sejumlah sanggar di kota Sorong dan di kepulauan Raja Ampat telah mengadopsi seni lukis ludah pinang itu, Belantara Papua, yang didirikan 5 Agustus 2004 di kota Sorong, berusaha memamerkan hasil karya mereka di Jawa. Ornop ini, memang berisikan tokoh-tokoh seniman dan pekerja seni, yang sudah lama bergiat dalam pengembangan berbagai cabang seni di Tanah Papua. Dua orang perintis Belantara Papua, Abner Korwa dan Max Binur, adalah mantan anggota kelompok seni-budaya Mambesak di kampus Universitas Cenderawasih di Abepura, dekat Jayapura. Setelah hijrah ke Sorong, dua orang pekerja seni dari Jawa bergabung dengan mereka, yakni Danar Wulandari, staf peneliti Insist (Yogyakarta) yang kemudian jatuh cinta dan menikah dengan Max Binur, serta Erawati, mantan aktivis Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, yang kini sudah meninggalkan Tanah Papua.

Dengan demikian, Belantara Papua semakin setia pada namanya, yakni Bengkel Pembelajaran Antara Rakyat, dalam hal ini, rakyat Papua dan rakyat Jawa. Selain belajar makan pinang, para seniman Yogya juga belajar meludah secara artistik, bersama-sama sahabat merangkap guru-guru mereka dari Papua.

*Penulis adalah dosen tamu Program Studi Ilmu, Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, pencinta seni lukis, dan peneliti kebudayaan Melanesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar Anda terhadap sajian ini.